Kamis, 09 Juli 2009

Artikel

PERLINDUNGAN BAGI ORANG YANG TERTINDAS
II Sam. 11:1-15; Mzm. 14; Ef. 3:14-21; Yoh. 6:1-21

Pengantar
Tembok Besar Cina tidak berlebihan jika disebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Sebab panjangnya mencapai lebih 6.400 kilometer (dari kawasan Sanhai Pass di timur hingga Lop Nur di sebelah barat) dan tingginya 8 meter. Lebar bagian atasnya 5 m, sedangkan lebar bagian bawahnya 8 m. Setiap area 180-270 m didirikan menara pengintai. Tinggi menara pengintai tersebut 11-12 m. Itu sebabnya Tembok Besar Cina sering juga disebut dengan nama: Tembok Raksasa Sepanjang 10.000 Li¹ (萬里長城; 万里长城; Wànlĭ Chángchéng). Untuk membuat tembok raksasa ini, diperlukan waktu ratusan tahun oleh berbagai kaisar. Semula kaisar Qin Shi-huang diperkirakan yang memulai pembangunan tembok itu. Namun menurut penelitian dan catatan literatur sejarah, tembok itu telah dibuat sebelum dinasti Qin berdiri, tepatnya tembok besar Cina telah dibangun pertama kali pada “Zaman Negara-negara Berperang”. Kaisar Qin Shi-huang kemudian meneruskan pembangunan dan pengokohan tembok yang telah dibangun sebelumnya. Sepeninggal kaisar Qin Shi-huang, pembuatan tembok ini sempat terhenti dan baru dilanjutkan kembali di zaman Dinasti Sui, terakhir dilanjutkan kembali di zaman dinasti Ming. Bentuk Tembok Raksasa yang sekarang kita lihat adalah hasil pembangunan dari zaman Ming tadi. Bagian dalam tembok berisi tanah yang bercampur dengan bata dan batu-batuan. Bagian atasnya dibuat jalan utama untuk pasukan berkuda Tiongkok. Tujuan utama pembangunan tembok besar tersebut sebenarnya untuk mencegah serbuan bangsa Mongol dari Utara pada masa itu. Jadi demi keamanan dan keselamatan rakyatnya, bangsa Cina di Tiongkok selama beberapa abad sengaja merancang tempat perlindungan yang aman dan kokoh.

Setiap orang yang melihat tembok besar di Cina selalu terkagum-kagum. Namun kita sering melupakan pengorbanan rakyat Cina dari abad ke abad yang sudah tercurah saat pembangunan tembok besar tersebut. Menurut catatan lebih dari 1 juta orang yang harus menderita, dan sebagian besar dari mereka mengalami kematian saat pembangunan berlangsung. Mayat-mayat mereka segera dimasukkan ke dalam lubang pondasi tembok besar. Selain itu seluruh rakyat Cina juga harus membayar pajak khusus untuk pembiayaan pembangunan tembok besar tersebut. Mungkin sebagian besar sangat terpaksa membayar pajak atau menjadi pekerja rodi dalam pembangunan tembok besar Cina. Tetapi siapa yang mampu melawan kehendak dan perintah dari kaisar? Pemikiran para kaisar Cina pada satu pihak sangat mulia adalah menyediakan tempat perlindungan bagi setiap rakyat sehingga mereka aman dari kemungkinan serangan atau serbuan bangsa Mongol. Tetapi pada pihak lain dapat muncul pertanyaan, mengapa para kaisar harus mengorbankan rakyat kecil yang miskin untuk melaksanakan pembangunan tembok besar Cina tersebut? Ternyata tujuan pembangunan tembok besar Cina yang bertujuan untuk melindungi rakyat yang tertindas juga tidak terlepas dari berbagai tindakan kaisar yang menindas. Filosofi perlindungan dari pemahaman dunia selalu berwajah ganda, di satu pihak menawarkan perlindungan dan di pihak lain merampas dan menindas orang-orang yang lemah. Dalam konteks ini, benarlah bahwa hanya Allah saja yang mampu menjadi perlindungan bagi setiap orang yang lemah dan tertindas. Mzm. 14:6 berkata: “Kamu dapat mengolok-olok maksud orang yang tertindas, tetapi TUHAN adalah tempat perlindungannya”. Manusia dapat menghina dan merendahkan orang-orang yang tertindas. Tetapi hanya Allah saja yang menjaga dan melindungi setiap orang yang lemah dan tertindas. Tepatnya Allah tidak pernah berpihak kepada orang-orang yang menindas sesamanya yang lemah. Sebaliknya Allah senantiasa melawan setiap orang yang menindas dan berlaku sewenang-wenang kepada mereka yang lemah. Sehingga Allah memberikan perlindungan yang aman kepada umatNya yang lemah. Itu sebabnya kata “berlindung” berasal dari bahasa Ibrani yang berarti “mencari perlindungan di dalam” atau “bersembunyi di dalam” atau “bersembunyi bersama”. Artinya: umat percaya yang tertindas akan mencari perlindungan di dalam Allah.

Saat Raja Berperan Sebagai Penindas
Kesaksian II Sam. 10:17-19 sangatlah kontras dengan II Sam. 10:1-27. Sebab di II Sam. 10:17-19 mengisahkan bagaimana kepahlawanan Daud sebagai seorang raja yang berjuang dan membela rakyatnya dengan hidupnya sendiri. Bangsa Aram yang menyerang Israel berhasil dikalahkan oleh Daud, yaitu: “Daud membunuh dari orang Aram itu tujuh ratus ekor kuda kereta dan empat puluh ribu orang pasukan berkuda. Sobakh, panglima tentara mereka, dilukainya sedemikian, hingga ia mati di sana” (II Sam. 10:18). Tetapi tidak demikian isi kesaksian II Sam. 11:1-27. Kita sama sekali tidak menjumpai kesaksian tentang kepahlawanan Daud, atau peran Daud sebagai raja yang seharusnya menjaga dan melindungi rakyatnya. Bilamana para raja setiap tahun menunjukkan perannya dengan mengerahkan kekuatan militernya untuk menjaga keselamatan rakyat, justru saat itu Daud lebih memilih untuk tinggal di istana. Saat tentara dan Yoab panglima perangnya sedang bertaruh nyawa dalam peperangan melawan bani Amon, Daud malahan bersantai-ria di istananya. Makna ungkapan II Sam. 11:1, “sedang Daud sendiri tinggal di Yerusalem” sangat dalam. Ungkapan tersebut mau menyatakan bahwa Daud lebih memilih suatu “comfort zone” untuk menikmati berbagai fasilitas istana yang mewah di tengah-tengah para prajuritnya yang sedang berjuang membela keselamatan negara.

Peran raja yang seharusnya selalu disibukkan untuk memikirkan berbagai kebijaksanaan dan kesejahteraan rakyat, justru diisi oleh Daud dengan pola kehidupan yang serba “rileks” di atas pembaringannya. Ketika Daud bangun dari pembaringannya, dia bukan segera mengerjakan tugas-tugas kenegaraan, tetapi malahan dia berjalan-jalan di atas sotoh istana untuk melihat seorang wanita yang bernama Batsyeba sedang mandi. Mungkin sebelumnya Daud telah beberapa kali melihat Batsyeba mandi. Sehingga karena alasan yang sangat “pribadi” tersebut Daud waktu itu menolak berperang bersama para prajuritnya. Karena Daud menyaksikan betapa cantiknya saat Batsyeba mandi. Lebih dari pada itu Daud menyuruh bawahannya untuk membawa Batsyeba menemui dirinya. Tentunya Batsyeba tidak mampu menolak permintaan Daud sebagai raja sampai akhirnya Batsyeba mengandung setelah disetubuhi oleh Daud. Ketika Daud mendengar Batsyeba mengandung, dia mulai panik karena suami Batsyeba yakni Uria pasti akan segera curiga. Bagaimana mungkin isteri yang telah ditinggal suami selama berbulan-bulan karena tugas negara dapat melahirkan seorang anak. Itu sebabnya Daud segera memanggil Yoab agar menyuruh Uria menghadap. Daud memikirkan suatu siasat untuk menutupi kesalahannya.

Saat Siasat Dirancang

Mungkin semula Daud tidak pernah mengenal Uria orang Het secara pribadi. Tetapi kini Daud secara khusus memanggil Uria menghadap kepadanya. Sepertinya Daud berupaya menampilkan suatu sikap yang penuh dengan kemurahan hati kepada Uria. Daud menyuruh dan memberi kesempatan kepada Uria pulang ke rumah untuk bersenang-senang dengan istrinya. . Padahal maksud Daud menyuruh Uria pulang ke rumah dan bersetubuh dengan istrinya Batsyeba sebenarnya bertujuan untuk menutupi aib berupa bayi yang telah dikandung oleh Batsyeba dari benih Daud. Kalau Uria saat itu bersetubuh dengan isterinya, bukankah masih ada alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa bayi yang dikandung oleh Batsyeba bukan berasal dari benih Daud? Selain itu Daud juga melalui suruhannya memberi hadiah (II Sam. 11:8). Mungkin maksud Daud adalah untuk menyenangkan hati Uria. Padahal hadiah tersebut diberikan Daud untuk menyembunyikan kesalahan sekaligus untuk “menebus” dosa-dosa yang telah diperbuat kepada Uria. Tetapi rekayasa Daud tidak berjalan mulus. Sebab ternyata Uria menolak untuk pulang dan bersenang-senang dengan Batsyeba. Didorong oleh perasaan nasionalisme, Uria memilih tetap berada di depan pintu istana bersama para prajurit. Jawaban Uria kepada Daud mencerminkan sikap ksatrianya: "Tabut serta orang Israel dan orang Yehuda diam dalam pondok, juga tuanku Yoab dan hamba-hamba tuanku sendiri berkemah di padang; masakan aku pulang ke rumahku untuk makan minum dan tidur dengan isteriku? Demi hidupmu dan demi nyawamu, aku takkan melakukan hal itu!" (II Sam. 11:11). Sebenarnya dari jawaban Uria tersebut sudah menjawab pertanyaan yang paling mendasar, yaitu siapakah di antara Daud dan Uria yang layak menjadi pahlawan dan siapakah yang menjadi pecundang. Uria seorang Het yang bukan umat Israel bersedia membela rakyat Israel dengan nyawanya, tetapi Daud yang adalah raja Israel dan dipilih oleh Allah malahan memerankan diri seorang penindas dan pecundang. Kesaksian II Sam. 11 sungguh mengejutkan! Sebab yang menjadi penindas bukanlah bangsa kafir tetapi justru seorang yang diurapi dan dipilih oleh Allah.

Penindasan yang dilakukan oleh Daud ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Daud mulai memperdaya Uria dengan membuat dia mabuk. Padahal kekuatan utama dari seorang prajurit adalah kesadaran dan kewaspadaannya. Sehingga saat seorang prajurit mabuk, maka dia tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Lalu keesokkan harinya Daud telah siap merencanakan suatu kejahatan yang keji terhadap Uria, yaitu dengan menyuruh Yoab panglima perangnya untuk menempatkan Uria di depan pertempuran melawan bangsa Amon. Setiap orang tahu bahwa seorang prajurit yang baru saja dibuat mabuk tidak akan mungkin mampu bertempur apalagi jika dia ditempatkan di depan barisan. Sepandai-pandainya seorang prajurit menggunakan senjatanya saat dia mabuk, maka pastilah dia akan mati jika ditempatkan dalam suatu pertempuran. Dengan demikian penindasan brutal yang dilakukan oleh Daud semata-mata bertujuan ingin merebut Batsyeba dengan cara menyingkirkan Uria selama-lamanya. Apabila Uria berhasil dilenyapkan, maka Daud merasa lebih leluasa dan tidak terhalang sedikitpun untuk menggauli Batsyeba. Daud juga merasa aman dapat menyembunyikan skandalnya. Skenario jahat dari Daud tersebut sebagian terwujud sebab akhirnya Uria dapat gugur dalam pertempuran. Tetapi sebagian skenario tersebut akhirnya terbongkar sebab Allah menyuruh nabi Natan menyampaikan rencana dan hukuman Allah.

Allah: Pembela Orang Yang Tertindas
Dengan kekuasaan Daud sebagai raja dan skenario jahatnya yang sangat lihai, rasanya waktu itu tidak mungkin ada yang mampu membongkar skandal perzinahan dan pembunuhan terhadap Uria. Walaupun Yoab selaku panglima perang sebenarnya mengetahui secara persis seluruh kejahatan dan kelicikan Daud, tetapi dia tidak mungkin berani menegur atau mengingatkan Daud. Apakah Allah juga ikut bungkam menyaksikan kejahatan Daud tersebut? Bukankah Allah sendiri yang telah memilih dan mengurapi Daud untuk menjadi raja atas umatNya? Apabila Allah saat itu ikut berdiam diri terhadap Daud, maka Dia akan menjadi “Allah yang amoral”. Sikap bungkam dengan membiarkan kejahatan tetap berlangsung berarti kita juga ikut menyetujui dan membenarkan kejahatan tersebut. Tetapi tidaklah demikian sikap Allah. Dia adalah Allah yang kudus dan adil. Allah tidak segan-segan menghukum Daud. Bentuk hukuman Allah adalah: keturunan Daud akan tertimpa oleh pedang (II Sam. 12:10), dan isteri-isteri Daud akan diambil di depan matanya untuk diberikan kepada orang lain (II Sam. 12:11-12). Para pecundang dan penjahat mungkin dapat mewujudkan impiannya yang jahat, tetapi mereka pasti akan menuai dari apa yang telah ditaburkan. Demikian pula dengan kasus Daud. Dia juga harus membayar harga yang sangat mahal, bahkan para keturunannya tidak akan luput dari pedang. Daud juga harus mengalami rasa malu dan kesedihan yang sangat besar saat isteri-isterinya direbut dan digauli dengan paksa oleh Absalom anaknya. Walaupun Daud adalah seorang yang dipilih dan diurapi oleh Allah, tetapi tidak berarti dia memperoleh kekebalan atau dispensasi atas seluruh kesalahan dan dosa-dosanya. Justru intensitas hukuman Allah kepada Daud dan keturunannya lebih besar dari pada hasil skenarionya yang licik dan kejam terhadap Uria.

Hukuman Allah terhadap Daud menunjukkan hakikat Allah adalah kudus dan adil. Dia tidak pernah membiarkan kejahatan dan ketidakadilan menguasai kehidupan manusia. Selain itu Allah yang menyatakan diri sebagaimana yang disaksikan oleh Alkitab adalah Allah yang juga selalu berpihak kepada umat yang tertindas. Sehingga nyawa orang benar seperti Uria tidak pernah diabaikan. Mzm. 14:4-5 berkata: “Tidak sadarkah semua orang yang melakukan kejahatan, yang memakan habis umat-Ku seperti memakan roti, dan yang tidak berseru kepada TUHAN? Di sanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar, sebab Allah menyertai angkatan yang benar”. Kesaksian Alkitab tersebut dalam kenyataan hidup sehari-hari justru sering dilanggar oleh orang yang menganggap dirinya beragama atau beriman. Cukup banyak kasus yang memperlihatkan bagaimana sikap orang beragama yang sering menganggap remeh nyawa orang lain khususnya sesama yang dianggap “kafir”. Seakan-akan darah “orang kafir” halal untuk ditumpahkan. Padahal hidup orang yang dianggap “kafir” juga milik Allah. Umat yang “beragama” sama sekali tidak berhak untuk mencabut atau mengambil nyawa sesamanya. Sebaliknya umat “beragama” memiliki kewajiban dan tanggungjawab moral yang mutlak untuk melindungi setiap sesama yang sedang terancam atau menghadapi bahaya maut. Umat beragama secara khusus mengemban tugas sebagai “kepanjangan tangan Allah” sehingga keadilan dan kebenaran wajib untuk terus ditegakkan. Karena itu apabila umat “beriman” bertindak yang sebaliknya yaitu berlaku tidak adil, kejam, dan sewenang-wenang mencabut nyawa orang lain maka Allah akan berubah menjadi lawan utamanya. Allah akan berpihak dan membela setiap orang tertindas walaupun mereka berstatus sebagai “orang kafir”. Dalam konteks ini tidaklah benar pernyataan yang menyatakan bahwa kebenaran itu tidak berpihak. Justru untuk membela suatu keadilan, kebenaran harus berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas. Memang benar untuk menyelidiki dan melakukan pencarian suatu kebenaran, kita harus mampu bersikap netral. Namun setelah dilakukan suatu pengujian terhadap kebenaran dan terbukti bahwa hal tersebut bernilai “benar”, maka para pembela kebenaran harus berani berpihak. Jika tidak demikian, maka kebenaran hanya akan menjadi “kebenaran” di atas kertas saja alias sekedar suatu paradigma dan konsep. Padahal hakikat kebenaran harus selalu diperjuangkan dan diwujudkan sehingga menjadi suatu kenyataan hidup. Itu sebabnya dalam menegakkan keadilanNya Allah berpihak membela posisi Uria yang tertindas dengan melawan dan menghukum Daud. Kasih dan kesetiaan Allah kepada Daud tidak pernah membungkam atau melumpuhkan keadilanNya.

Penindasan Dan Atheisme-Aksi
Koreksi atau introspeksi diri bukan hanya tertuju bagi umat yang tidak beragama (“atheisme-kepercayaan”). Tetapi koreksi atau introspeksi diri yang kritis juga dialamatkan kepada setiap umat yang beragama (theisme). Memang atheisme secara umum berarti suatu ketidakpercayaan bahwa Tuhan itu ada. Arti dari atheisme bukan sekelompok orang yang percaya bahwa Tuhan tidak ada, melainkan secara prinsip mereka menolak dan tidak percaya bahwa Tuhan ada. Dengan kata lain, makna ateisme sebenarnya bukan merupakan kepercayaan atau keyakinan, melainkan sistem ketidakpercayaan atau ketidakyakinan kepada eksistensi Allah. Mzm. 14:1 mengungkapkan sikap hati orang-orang atheistis, yaitu: "Tidak ada Allah. Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik”. Manakala kita mencermati makna Mzm. 14:1 tersebut, maka pengertian “atheisme” sebenarnya bukan hanya terbatas kepada sikap ketidakpercayaan akan Allah, tetapi juga menyatakan bagaimana bentuk dari “atheisme aksi”. Yang mana sikap atheisme-aksi justru sangat berbahaya dan merusak nilai-nilai kehidupan sebagaimana diungkapkan oleh Mzm. 14:1, yaitu: “Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik”. Bahkan Mzm. 14:3 lebih tegas lagi, yaitu: “Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak”. Bentuk atheisme-aksi secara sengaja mempratekkan setiap hal yang tidak dikehendaki oleh Allah. Padahal melanggar setiap firman Allah secara sistematis dan bersengaja berarti kita secara prinsipiil telah meniadakan realitas kasih, keadilan dan kebenaran. Dengan demikian sikap atheisme-aksi pada hakikatnya mengejawantahkan nilai-nilai dan pemahaman “atheisme kepercayaan” dengan bentuk penistaan dan peniadaan terhadap harkat atau martabat manusia. Tepatnya sikap operatif dari “atheisme-aksi” adalah: upaya secara bersengaja untuk menindas, menista dan melenyapkan nyawa sesamanya. Contohnya adalah tindakan Daud yang pada satu pihak beriman kepada Allah, dan pada pihak lain dia secara sistematis melenyapkan nyawa Uria.

Dengan demikian selama umat percaya dalam kehidupan sehari-hari masih memberlakukan sikap “atheisme-aksi”, sebenarnya kehidupan mereka belum dapat dikategorikan sebagai bagian dari “komunitas umat percaya”. Karena dalam komunitas umat percaya senantiasa mampu mewujudkan spiritualitas yang terintegrasi (integrated of spirituality) antara keyakinan iman dengan tindakan. Hidup umat percaya ditandai oleh integritas yang teruji, sehingga mereka tidak pernah mereka-reka dan melaksanakan suatu tindakan yang bertentangan dengan firman Allah. Itu sebabnya umat percaya senantiasa mampu memposisikan diri sebagai alat di tangan Allah untuk menegakkan kasih dan keadilanNya. Umat percaya tidak pernah bersedia memposisikan dirinya sebagai penindas terhadap sesama. Sebaliknya umat percaya selalu memerankan diri sebagai pelindung, pembela dan penghibur kepada sesama yang sedang tertindas. Karena mereka tahu bahwa dalam diri setiap umat yang sedang tertindas, Allah sungguh-sungguh hadir. Makna kehadiran Allah bukan hanya terjadi di tengah-tengah ritus/ibadah umatNya, tetapi Dia juga hadir dalam kehidupan setiap orang yang menderita dan tertindas. Mzm. 14:5 berkata: “Di sanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar, sebab Allah menyertai angkatan yang benar”. Allah akan memberi hukuman dan kekejutan bagi setiap penindas dan orang lalim, tetapi Dia akan menyertai angkatan umat yang hidup benar. Jika demikian, tolok ukur yang benar untuk menentukan tingkat/mutu iman setiap umat percaya adalah sejauh mana umat percaya telah memposisikan dan memerankan diri dalam relasinya dengan sesama. Apakah umat percaya dalam kehidupan sehari-hari telah memposisikan diri sebagai seorang penindas, ataukah mereka menjadi pelindung dan pembela bagi setiap orang yang tertindas. Bagi umat percaya yang konsisten untuk menjadi pelindung dan pembela bagi sesamanya yang tertindas, maka doa rasul Paulus di Ef. 3:16-17 dapat dijadikan acuan dan landasan sikap. Karena di Ef. 3:16-17 rasul Paulus berdoa demikian: “Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih”.

Dimensi Penindasan Dan Kasih
Tindakan penindasan pada hakikatnya seluas aspek kehidupan manusia. Artinya setiap aspek kehidupan manusia senantiasa terbuka untuk ditindas, dirusak dan dihancurkan. Karena itu penindasan selalu mencakup dimensi politis, ekonomis, ideologis, filosofi, religiusitas, sosial, budaya, keluarga dan inter-relasi dengan sesama. Praktek penindasan tidak hanya pemberlakuan secara vulgar sebagaimana yang telah dilakukan oleh Daud kepada Uria. Tetapi pola-pola penindasan juga dapat dinyatakan dalam bentuk yang tidak selalu tampak secara lahiriah, misalnya sikap menindas anggota keluarga dan sesama dengan perkataan kasar. Kita juga dapat menindas orang lain dengan “sopan-santun” atau tata-krama feodalisme. Kita juga dapat menindas dengan cara menghina, meremehkan dan memfitnah orang lain sehingga dia tidak dapat bertahan hidup. Dengan perkataan lain ketika kita secara sengaja melumpuhkan dan mematikan daya hidup, karunia dan kreativitas orang lain apapun bentuknya maka sebenarnya kita telah menindas sesama dan mempraktekkan atheisme-aksi. Sebaliknya dalam tindakan yang dilandasi oleh kasih Kristus, setiap umat percaya akan selalu berupaya untuk memberdayakan dan meneguhkan sesama agar orang lain mampu untuk mengembangkan seluruh kemampuannya. Kasih Kristus selalu membangun, sebaliknya atheisme-kepercayaan dan atheisme-aksi selalu bersifat merusak dan melumpuhkan sesama.

Panggilan
Kasih Kristus yang dianugerahkan Allah dalam kehidupan kita merupakan tempat perlindungan yang paling aman. Kehidupan kita yang semula ditindas dan dibelenggu oleh kuasa dosa, kini dibebaskan dan diselamatkan oleh Allah dalam penebusan Kristus. Sehingga di dalam kuasa kasih Kristus, kita dimampukan oleh Allah untuk melakukan banyak hal yang mulia dan konstruktif melampaui seluruh harapan dan pemikiran kita. Di Ef. 3:20 rasul Paulus berkata: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita”. Jika demikian, kasih Kristus menjadi landasan utama dari setiap karunia dan panggilan hidup kita untuk menjadi pembela dan pelindung setiap orang yang tertindas. Bagaimanakah sikap hidup saudara? Apakah kehidupan saudara menjadi pembebas dan penyelamat yang melindungi setiap orang yang lemah; ataukah menjadi penindas yang melumpuhkan dan mematikan sesama? Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Yang Bermanfaat