Kamis, 09 Juli 2009

Artikel

MENGERJAKAN PEKERJAAN YANG DIKEHENDAKI ALLAH
Kel. 16:2-4, 6-15; Mzm. 78:23-29; Ef. 4:1-16; Yoh. 6:24-35

Pengantar
Fenomena kebangkitan agama-agama merupakan salah satu indikator bahwa umat manusia pada masa kini semakin membutuhkan kehadiran Allah. Mereka disadarkan agar semakin mampu memiliki kehidupan yang berorientasi kepada kehendak Allah. Namun apakah kesadaran keagamaan yang berkobar-kobar tersebut telah membuktikan bahwa mereka telah mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah? Fenomena kebangkitan agama memang menunjukkan bahwa sebagian besar umat manusia telah siuman atau sadar akan kebutuhan agama dan kehadiran Allah. Tetapi sikap siuman tersebut dalam praktek hidup ternyata hanya terbatas pada kesadaran yang sifatnya lahiriah. Kebangkitan agama hanya mendorong banyak orang untuk menjadi fanatik terhadap imannya dengan menistakan sesama yang berbeda keyakinan dan agama. Misalnya bagi umat Kristen, ayat-ayat Alkitab tidak dihayati secara utuh tetapi sekedar dikutip berupa potongan atau cuplikan kecil untuk mendukung pemikiran dan ideologi mereka. Kemudian dengan potongan ayat tersebut mereka berupaya membangun “teologi” atau kebenaran Allah. Hasilnya dapat diperkirakan! Bangunan “teologi” atau kebenaran Allah tersebut sangatlah dangkal dan jauh dari maksud firman Tuhan yang sesungguhnya. Karena itu lebih tepat fenomena kebangkitan agama-agama disebut sebagai kebangkitan fundamentalisme agama. Kebangkitan agama sama sekali bukan kebangkitan iman yang membebaskan, tetapi sekedar suatu peristiwa kebangkitan fanatisme yang destruktif.

Karena kebangkitan agama bukan kebangkitan iman yang membebaskan, maka fenomena kebangkitan agama lebih sering didominasi oleh simbol-simbol keagamaan. Sehingga makna keagamaan hanya ditandai oleh kehadiran ritualisme dan simbol yang menunjukkan identitas lahiriah agama. Iman bergeser maknanya menjadi dogmatisme. Teologi bergeser menjadi ideologi. Padahal makna iman yang bergeser dalam pengertian dogmatisme tidak memungkinkan manusia untuk mencari kebenaran, tetapi justru sebaliknya semakin memenjarakan kebenaran. Dalam pemahaman ini makna iman dijauhkan dari berbagai kemungkinan pertanyaan kritis, sebab mereka memahami bahwa “di mana ada iman, tidak perlu lagi ada pertanyaan”. Apabila sikap beriman semakin menjauhkan manusia dari pertanyaan kritis, maka tidak tersedia lagi ruang bagi manusia untuk menghayati iman sebagai pergumulan mencari kebenaran yang lebih tinggi. Makna kebenaran sekedar suatu doktrin atau dogma yang sudah final. Padahal saat kebenaran terpenjara dalam doktrin atau dogma, kebenaran tersebut telah kehilangan fungsinya yang paling utama yaitu membebaskan dan memberdayakan manusia. Kebenaran yang demikian justru hanya mendorong manusia untuk menerapkan kekakuan beribadah dan kedangkalan kasih. Tidaklah mengherankan jikalau kebangkitan agama justru jauh dari kebangkitan nilai-nilai etis. Sebab dalam kebangkitan agama, manusia justru semakin mempraktekkan kekerasan dan kecongkakan rohani serta kultus individu terhadap para pemimpin mereka. Dari sudut lahiriah, mereka seakan-akan mempermuliakan dan menyembah nama Allah, padahal sesungguhnya mereka sedang mempermuliakan diri sendiri atau kebenaran-kebenaran manusiawi. Padahal tugas mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki oleh Allah tidak terlepas dari tindakan sikap etis-iman. Dengan perkataan lain seharusnya makna kebangkitan agama menjadi fenomena kebangkitan etika yang imaniah dalam kehidupan umat manusia. Kebangkitan etika berarti setiap umat manusia disadarkan untuk memberlakukan nilai-nilai firman Tuhan secara konsisten.

Mencari Yesus Ataukah RotiNya?
Kehadiran Tuhan Yesus senantiasa ditandai oleh kerumunan orang banyak. Ke mana Tuhan Yesus pergi, di situ pula orang banyak selalu berkumpul. Manakala orang banyak tidak menemukan Tuhan Yesus di suatu tempat, maka mereka segera mencari sampai menemukan Dia. Betapa luar-biasa daya tarik Tuhan Yesus. Kharisma dan kuasaNya seperti kekuatan magnet yang mampu menyedot orang banyak untuk meninggalkan rumah dan pekerjaan agar mereka dapat menjumpaiNya. Namun saat mereka berhasil menjumpai Tuhan Yesus, ternyata sikap antusiasme orang banyak tersebut disambut Dia dengan sikap dingin, yaitu: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang” (Yoh. 6:26). Betapa sering massa penganut agama pada masa kini juga begitu antusias mencari “Tuhan”. Mereka bersedia menjual harta-benda agar dapat pergi ke “rumah Allah”. Itu sebabnya pada masa kini para penganut agama berusaha untuk mengunjungi kota-kota yang dianggap suci seperti: Mekkah, Benares dan sungai Gangga, Yerusalem atau tempat-tempat yang dikisahkan dalam Kitab Suci. Kalau perlu mereka bersedia menjual sawah atau kebunnya agar dapat berziarah di tempat-tempat yang dianggap suci tersebut. Mungkin bagi beberapa orang, antusiasme ritual/ziarah keagamaan tersebut dapat memperdalam dan mencelikkan mata rohani mereka terhadap kebenaran ilahi. Tetapi bagi sebagian besar lainnya antusiasme ritual/ziarah justru semakin memperkuat fanantisme keagamaan yang dangkal dan sempit. Sebab motivasi mereka yang sesungguhnya adalah untuk memperoleh berkat dan bukan berjumpa dengan Allah yang membebaskan dan membaharui hidup mereka. Demikian pula dengan kecenderungan sebagian umat Kristen yang datang ke tanah suci Israel. Mereka ingin dibaptis ulang di sungai Yordan. Motif baptisan ulang tersebut bukan karena dorongan pertobatan dan komitmen untuk mengalami pembaharuan hidup yang telah dikerjakan oleh Kristus, tetapi sekedar ingin memperoleh “berkat rohani” tambahan. Baptisan dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus yang pernah mereka terima dianggap belum benar-benar “alkitabiah” dan memadai. Keadaan ini menunjukkan bahwa begitu banyak orang yang lebih rindu memperoleh berkat-berkat ilahi tambahan dari pada mengenal dan mengasihi diri Allah secara personal.

Kisah orang banyak yang berbondong-bondong mencari Tuhan Yesus sepertinya begitu mengharukan hati. Walau mereka harus bersusah-payah menyeberang danau, mereka bersedia melakukannya. Tetapi motif hati mereka yang sebenarnya adalah agar mereka dapat memperoleh roti seperti yang pernah digandakan oleh Tuhan Yesus. Orang banyak datang kepada Tuhan Yesus bukan bertujuan untuk mengenal pribadi dan kasihNya, tetapi agar Tuhan Yesus memberikan makanan yang berlimpah. Sikap orang banyak tersebut juga menggambarkan kehausan manusia modern yang dari luar sepertinya sibuk dan bergairah mencari “Allah”. Padahal motif hati yang sesungguhnya adalah mencari berkat kekayaan dan kemakmuran. Sebab paradigma utama dari para “pencari Allah” ini adalah kemakmuran sebagai tanda dari umat yang diberkati oleh Allah. Semakin makmur, semakin menunjukkan mereka adalah umat yang terpilih dan terberkati. Tetapi sayangnya tidak dijelaskan latar-belakang dan asal kemakmuran yang telah mereka perolah. Apakah kemakmuran tersebut mereka peroleh dari hasil kerja keras yang didasari oleh prinsip-prinsip etis-iman, ataukah kemakmuran tersebut hasil dari manipulasi dan pola kerja yang tidak jujur. Suatu kemakmuran yang berasal dari usaha dan kerja keras yang didasari oleh prinsip-prinsip etis-iman tentu kita hayati sebagai wujud dari berkat Allah. Tetapi sebaliknya suatu kemakmuran yang berasal dari “eksploitasi cerdik” atau “manipulasi pintar” bukan berasal dari Allah walau para pelakunya sangat khidmat saat beribadah di BaitNya. Jadi kehausan atau antusiasme rohaniah bukanlah indikator valid dari orang-orang yang mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah. Justru sebaliknya mereka sering memerankan diri sebagai orang-orang yang munafik di mana di satu sisi tampil begitu rohani di lingkungan gereja, dan pada sisi lain dalam kehidupan sehari-hari justru menjadi monster dan pemangsa bagi sesamanya. Penampilan seseorang yang berwatak monster dan pemangsa sesama dengan pakaian dan wajah malaikat tentu lebih berbahaya dari pada eksistensi dari monster dalam arti sebenarnya. Kita akan lebih mudah menghadapi mahluk monster yang sebenarnya, karena kita segera mengetahui jati-dirinya sehingga kita tidak akan lengah dengan serangannya. Tetapi sangat sulit dan membingungkan manakala kita harus menghadapi seseorang yang berwatak monster dan pemangsa sesama dengan wajah malaikat. Sebab kita dituntut untuk selalu jeli, kritis dan mungkin harus melakukan “survey” dalam kurun waktu yang cukup panjang untuk mengumpulkan bukti-bukti yang memadai tentang kejahatan mereka. Padahal di tengah-tengah proses waktu yang panjang itu sebenarnya telah jatuh korban yang begitu banyak.

Bekerjalah Untuk Hidup Yang Kekal
Makna mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah tidak sebatas melakukan berbagai pekerjaan yang dianggap “rohani”. Paradigma ini sering menyesatkan seakan-akan pekerjaan yang dikehendaki Allah jikalau kita bersedia meninggalkan profesi atau pekerjaan sekuler dengan menggantinya menjadi profesi seorang “hamba Tuhan”. Dalam iman Kristen, setiap pekerjaan adalah kudus sejauh pekerjaan tersebut dilakukan untuk mempermuliakan Allah yaitu dengan mengabdikan untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Karena itu pekerjaan rohani seperti menjadi seorang pendeta atau penginjil sebenarnya tidak lebih tinggi dari pada tugas seorang penyapu jalan, ibu rumah-tangga, montir, pengasuh bayi, ahli medis, ahli hukum, tukan kebun, petani, tukang jahit, dan sebagainya. Asalkan semua pekerjaan tersebut dilakukan dengan cinta yang besar sehingga menghasilkan sikap pengabdian yang bermanfaat bagi sesama dan keluarga. Apalagi jika cinta yang besar itu lahir dari iman yang tulus kepada Tuhan Yesus selaku Juru-selamatnya. Pastilah cinta yang besar itu akan semakin dimurnikan dan dikuduskan sebab dilandasi oleh iman kepada Kristus. Di Yoh. 6:27, Tuhan Yesus berkata: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya". Jadi sebenarnya tidaklah cukup bagi umat manusia hanya mendasari seluruh tindakan atau pengabdiannya dengan cinta yang besar. Sebab cinta atau kasih dalam kehidupan sehari-hari dapat berubah atau menyimpang menjadi cinta-diri. Kasih juga perlu diarahkan dan dikendalikan oleh kuasa iman. Dan pada pihak lain iman yang benar bukan sekedar orientasi religius kepada Allah yang abstrak, tetapi kepada wujud penyataan Allah yang telah terjadi dalam diri Yesus Kristus. Itu sebabnya Tuhan Yesus menegaskan bahwa Dialah yang disahkan oleh Allah dengan meteraiNya. Sehingga melalui iman kepada Kristus, manusia akan memperoleh hidup yang kekal.

Karena itu iman kepada Kristus hanya bermakna jikalau ditandai oleh sikap integritas diri. Pengakuan iman yang menyatakan Yesus adalah Tuhan hanya mungkin terjadi jika kita bersedia mewujudkan ke-Tuhan-anNya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sehingga setiap pekerjaan, usaha atau karier kita secara hakiki di bawah kuasa pemerintahanNya. Dengan pola spiritualitas iman yang demikian tidak dimungkinkan terbuka celah sedikitpun untuk mengeksploitasi atau membuat manipulasi licik yang merugikan sesama. Pengakuan akan ke-Tuhan-an Yesus juga harus diwujudkan dalam pengakuan akan ke-”manusia”-an sesama yaitu kepada harkat dan martabatnya selaku gambar dan rupa Allah. Sehingga persembahan syukur yang dipersembahkan umat percaya kepada Allah pada hakikatnya tidak dimaksudkan untuk meniadakan sikap kepedulian kasih mereka kepada sesama yang berkekurangan dan menderita. Saat umat Israel menderita kekurangan makanan di padang gurun, Allah sangat peduli dengan mengirimkan roti berupa manna sehingga mereka mampu bertahan hidup selama 40 tahun lamanya. Demikian pula halnya dengan panggilan umat percaya. Setiap umat percaya dipanggil untuk senantiasa memberdayakan sesamanya agar mereka juga dapat bertahan sampai kepada hidup yang kekal. Keselamatan dan hidup kekal tidak boleh dikuasai dan dimonopoli oleh umat percaya, tetapi harus selalu dikomunikasikan dan dibagikan; sehingga semakin banyak sesama yang juga dapat menikmati roti hidup, yaitu manna sorgawi yang telah disediakan oleh Kristus. Sebab keselamatan dan hidup yang kekal hanya disediakan oleh Allah di dalam Kristus. Tuhan Yesus berkata: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6:35). Dalam konteks ini Tuhan Yesus tidak menyebut Dia sekedar pengajar tentang roti hidup, tetapi Dia menyebut diriNya sebagai Roti Hidup. Sehingga setiap orang yang telah datang kepada Kristus tidak akan lapar lagi oleh perkara-perkara duniawi. Setiap orang yang datang kepada Kristus juga tidak akan haus lagi oleh keinginan-keinginan daging. Sebab mereka telah dikenyangkan oleh kebenaran Kristus yang membebaskan. Jadi jika setiap umat percaya telah memperoleh kebenaran yang membebaskan, maka mereka akan melakukan setiap tugas dan panggilannya dengan integritas diri yang tulus. Dengan ungkapan yang senada, rasul Paulus berkata: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef. 4:1-3).

Membaharui Dan Memperlengkapi Komunitas
Karya keselamatan dan pembaharuan Allah selalu melampaui batas-batas individual dan kelompok. Sebab karya keselamatan dan pembaharuan Allah mencakup seluruh dimensi kehidupan umat manusia. Melalui karya Kristus, Allah berkenan menjangkau dan menyelamatkan seluruh umat manusia. Karena itu makna mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki oleh Allah selalu berkaitan dengan upaya untuk membaharui dan memperlengkapi komunitas yang didiami oleh setiap umat. Di Ef. 4:3 dengan tegas rasul Paulus menyatakan pentingnya umat percaya memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera. Yang mana ikatan damai-sejahtera tidak mungkin hanya dibangun oleh segelintir orang. Ikatan damai-sejahtera merupakan suatu rangkaian sistem dan rantai kehidupan yang saling terkait. Karena itu makna mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah tidak pernah terlepas dari upaya pembaharuan terhadap sistem dan nilai-nilai yang dihayati oleh setiap komunitas kehidupan manusia. Dalam hal ini umat percaya tidak boleh terbelenggu oleh tindakan kasih yang sifatnya karitatif dan personal belaka. Sebab kita sering merasa puas dengan melakukan bentuk-bentuk pelayanan yang sekedar membagi makanan dan pakaian bekas dari pada mengerjakan pembaharuan sistem. Padahal bentuk-bentuk pelayanan yang sifatnya karitatif dan personal belaka dalam jangka panjang tidak akan mampu memperbaiki suatu keadaan. Misalnya kemiskinan tidak cukup diatasi hanya membagi bahan-bahan kebutuhan primer (“sembako”). Sebab pembagian bahan-bahan makanan tersebut hanya mampu bertahan antara 1-2 hari saja, tetapi setelah itu mereka tetap berada dalam belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan. Pada satu sisi pemberian bahan-bahan pokok tersebut mungkin dapat menolong sesama. Tetapi pada sisi lain pemberian bahan-bahan pokok secara intensif justru sering menciptakan situasi ketergantungan sehingga semakin memupuk perasaan tidak berdaya dan kemalasan untuk bekerja. Jadi makna mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah berkaitan dengan peningkatan harkat dan martabat manusia. Untuk itu kita dipanggil untuk menciptakan damai-sejahtera yang memberdayakan. Sebab damai-sejahtera Kristus bukanlah damai-sejahtera yang semu, tetapi damai-sejahtera yang membangun dan membebaskan. Sehingga dengan damai-sejahtera Kristus tersebut setiap orang dimampukan untuk menikmati kehidupan yang setara, adil dan saling menopang dalam kuasa kasihNya.

Namun pada sisi yang lain, dimensi damai-sejahtera Kristus yang setara dan adil pada hakikatnya tetap menghargai keunikan dan kekhasan setiap kasih-karunia Allah bagi setiap individu. Dalam hal ini makna damai-sejahtera Kristus tidak identik dengan penyeragaman konsep, penyamaan pemikiran atau keyakinan. Juga makna damai-sejahtera Kristus bukan penyamaan teologi atau doktrin. Makna damai-sejahtera Kristus lebih terarah kepada upaya penyamaan kesetaraan umat manusia yang tunduk dalam kuasa kasihNya. Di Ef. 4:7 rasul Paulus berkata: “Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus”. Setiap orang telah dianugerahi oleh Allah dengan kesetaraan dalam kedudukan, gender, etnis, ideologi dan agama. Sehingga setiap orang juga memiliki kasih-karunia yang berbeda-beda sesuai dengan ukuran pemberian Kristus. Dengan penghayatan spiritualitas yang demikian, kita tidak perlu bersikap iri-hati dengan kasih-karunia yang dimiliki oleh orang lain. Kita juga tidak perlu memaksakan diri untuk memperoleh sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Sebaliknya kita dipanggil untuk semakin menghargai dan memberdayakan kasih-karunia yang sudah dilimpahkan Allah kepada kita, sehingga kita dapat menyumbangkan secara optimal kepada sesama yang membutuhkan. Apabila setiap orang selalu mengoptimalkan setiap kasih-karunia Allah dan kemudian masing-masing menyumbangkan secara tulus untuk kepentingan yang lebih luas, maka hasilnya pasti sangat luar-biasa. Komunitas tersebut akan menjadi persekutuan yang sinergis dan transformatif bagi orang-orang sekitarnya. Dalam pemahaman inilah gereja Tuhan dipanggil oleh Kristus untuk menjadi garam dan terang dunia.

Bertumbuh Di Dalam Kristus Yang Adalah Kepala
Panggilan untuk melaksanakan pembangunan jemaat selalu terkait dengan pembangunan masyarakat. Pemberdayaan jemaat tidak pernah dimaksudkan untuk kepentingan anggota jemaat tersebut, tetapi diarahkan untuk mewujudkan pembangunan masyarakat. Selaku gereja, kita akan disebut gagal oleh Kristus jikalau kita hanya berhasil membangun kehidupan anggota jemaat, tetapi tidak pernah menghasilkan karya pelayanan yang transformatif bagi masyarakat. Gereja hanya berfungsi sebagai gereja jikalau membawa efek pembaharuan bagi masyarakat sekitarnya. Karena itu program-program gereja dimaksudkan untuk memperlengkapi para anggota jemaat sehingga mereka mampu melaksanakan tugas pembangunan masyarakat secara efektif. Sehingga dalam kehidupan masyarakat juga tercipta pembangunan tubuh Kristus, yaitu nilai-nilai etis yang sesuai dengan karakter Kristus. Di Ef. 4:11-12, rasul Paulus berkata: “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus”. Dengan demikian tugas untuk memperlengkapi umat percaya bagi pembangunan tubuh Kristus tidak lagi terbatas pada lingkup “dinding” gedung gereja, tetapi juga terintegrasi dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Sehingga setiap anggota masyarakat dalam setiap segi kehidupannya tunduk kepada kuasa Kristus. Sebab segala kuasa di sorga dan di bumi telah diserahkan Allah kepada Kristus. Tuhan Yesus berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (Mat. 28:18).

Dengan demikian mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah dalam pembangunan jemaat dan pembangunan masyarakat harus terarah kepada pengakuan akan Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat. Menggunakan istilah dan pemikiran dari Pierre Teilhard de Chardin (1 Mei 1881 – 10 April 1955) seorang filsuf Perancis dari Ordo Jesuit, menyatakan bahwa pada hakikatnya setiap mahluk dan manusia akan terarah kepada Kristus yang adalah Titik Omega. Sebab Kristus selaku Titik Omega yang mengendalikan seluruh proses penciptaan dan kehidupan ke arah Dia. Di Ef. 4:15 rasul Paulus berkata: “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala”. Jadi tujuan pembangunan jemaat dan pembangunan masyarakat tidak boleh hanya terarah kepada dirinya sendiri, tetapi harus senantiasa terarah kepada Kristus. Justru dalam pemahaman teologis inilah kita sering gagal. Sebab kita sering berjuang secara eksklusif hanya untuk kepentingan jemaat saja, atau berjuang “mati-matian” untuk kepentingan masyarakat belaka. Tetapi arah perjuangan dan kerja kita tersebut sering terlepas dari sikap ketertundukan kepada Kristus sebagai Kepala seluruh kehidupan umat manusia. Akibatnya para aktivis gereja sering disebut “kelompok gerejawi”, dan aktivis masyarakat disebut sebagai “kelompok humanis”. Seakan-akan realitas kehidupan manusia dibagi dalam 2 kelompok peduli, yaitu kelompok gerejawi yang hanya mengerjakan pelayanan yang berbau rohani, dan kelompok humanis yang hanya mau peduli dengan program-program humanis yang sekuler. Penyebutan yang bernada “miring” itu terjadi karena kita telah melepaskan semua sendi dan aspek kehidupan di gereja dan masyarakat dari Kristus yang adalah Kepala umat manusia. Bukankah kedudukan Kristus sebagai Kepala bukan hanya dalam persekutuan jemaat/gereja, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Kita telah bersalah besar sebab sering telah membatasi kuasa dan otoritas Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat hanya dalam lingkup kehidupan jemaat, tetapi tidak pernah membuka dan mengkomunikasikan kepada masyarakat luas.

Panggilan
Tugas mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah bukan untuk mengejar berkat-berkatNya, tetapi mempermuliakan Kristus dalam setiap aspek kehidupan. Karena itu betapa pentingnya sikap mengkritisi diri sendiri agar kita selalu memiliki motif yang benar dan tulus. Sikap mengkritisi diri juga akan memampukan kita untuk terus mengalami proses pembaharuan hidup. Pada pihak lain sikap mengkritisi diri akan memampukan kita untuk melihat secara tajam dan jeli berbagai fenomena yang sedang terjadi, apakah fenomena tersebut bertujuan untuk mempermuliakan Allah ataukah mempermuliakan manusia dan kelompoknya. Selaku umat yang ditebus oleh Kristus, kita dipanggil untuk semakin terlibat dalam proses pembaharuan hidup yang utuh di dalam kehidupan jemaat dan kehidupan masyarakat. Sehingga pada akhirnya setiap mahluk dan insan manusia dengan tulus mengakui ke-Tuhan-an Kristus. Karena melalui Kristuslah, Allah telah mengerjakan pekerjaan keselamatan yang sempurna agar seluruh umat manusia mengalami kepenuhan sebagai anak-anak Allah. Jika demikian, apakah saudara telah mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah? Untuk itu kita semua dipanggil untuk berjuang membaharui sistem kehidupan yang jauh dari kasih Kristus. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Yang Bermanfaat