Minggu, 12 Juli 2009

HORAS

HORAS INDOOOONESIA...............

Kamis, 09 Juli 2009

Artikel

PERLINDUNGAN BAGI ORANG YANG TERTINDAS
II Sam. 11:1-15; Mzm. 14; Ef. 3:14-21; Yoh. 6:1-21

Pengantar
Tembok Besar Cina tidak berlebihan jika disebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Sebab panjangnya mencapai lebih 6.400 kilometer (dari kawasan Sanhai Pass di timur hingga Lop Nur di sebelah barat) dan tingginya 8 meter. Lebar bagian atasnya 5 m, sedangkan lebar bagian bawahnya 8 m. Setiap area 180-270 m didirikan menara pengintai. Tinggi menara pengintai tersebut 11-12 m. Itu sebabnya Tembok Besar Cina sering juga disebut dengan nama: Tembok Raksasa Sepanjang 10.000 Li¹ (萬里長城; 万里长城; Wànlĭ Chángchéng). Untuk membuat tembok raksasa ini, diperlukan waktu ratusan tahun oleh berbagai kaisar. Semula kaisar Qin Shi-huang diperkirakan yang memulai pembangunan tembok itu. Namun menurut penelitian dan catatan literatur sejarah, tembok itu telah dibuat sebelum dinasti Qin berdiri, tepatnya tembok besar Cina telah dibangun pertama kali pada “Zaman Negara-negara Berperang”. Kaisar Qin Shi-huang kemudian meneruskan pembangunan dan pengokohan tembok yang telah dibangun sebelumnya. Sepeninggal kaisar Qin Shi-huang, pembuatan tembok ini sempat terhenti dan baru dilanjutkan kembali di zaman Dinasti Sui, terakhir dilanjutkan kembali di zaman dinasti Ming. Bentuk Tembok Raksasa yang sekarang kita lihat adalah hasil pembangunan dari zaman Ming tadi. Bagian dalam tembok berisi tanah yang bercampur dengan bata dan batu-batuan. Bagian atasnya dibuat jalan utama untuk pasukan berkuda Tiongkok. Tujuan utama pembangunan tembok besar tersebut sebenarnya untuk mencegah serbuan bangsa Mongol dari Utara pada masa itu. Jadi demi keamanan dan keselamatan rakyatnya, bangsa Cina di Tiongkok selama beberapa abad sengaja merancang tempat perlindungan yang aman dan kokoh.

Setiap orang yang melihat tembok besar di Cina selalu terkagum-kagum. Namun kita sering melupakan pengorbanan rakyat Cina dari abad ke abad yang sudah tercurah saat pembangunan tembok besar tersebut. Menurut catatan lebih dari 1 juta orang yang harus menderita, dan sebagian besar dari mereka mengalami kematian saat pembangunan berlangsung. Mayat-mayat mereka segera dimasukkan ke dalam lubang pondasi tembok besar. Selain itu seluruh rakyat Cina juga harus membayar pajak khusus untuk pembiayaan pembangunan tembok besar tersebut. Mungkin sebagian besar sangat terpaksa membayar pajak atau menjadi pekerja rodi dalam pembangunan tembok besar Cina. Tetapi siapa yang mampu melawan kehendak dan perintah dari kaisar? Pemikiran para kaisar Cina pada satu pihak sangat mulia adalah menyediakan tempat perlindungan bagi setiap rakyat sehingga mereka aman dari kemungkinan serangan atau serbuan bangsa Mongol. Tetapi pada pihak lain dapat muncul pertanyaan, mengapa para kaisar harus mengorbankan rakyat kecil yang miskin untuk melaksanakan pembangunan tembok besar Cina tersebut? Ternyata tujuan pembangunan tembok besar Cina yang bertujuan untuk melindungi rakyat yang tertindas juga tidak terlepas dari berbagai tindakan kaisar yang menindas. Filosofi perlindungan dari pemahaman dunia selalu berwajah ganda, di satu pihak menawarkan perlindungan dan di pihak lain merampas dan menindas orang-orang yang lemah. Dalam konteks ini, benarlah bahwa hanya Allah saja yang mampu menjadi perlindungan bagi setiap orang yang lemah dan tertindas. Mzm. 14:6 berkata: “Kamu dapat mengolok-olok maksud orang yang tertindas, tetapi TUHAN adalah tempat perlindungannya”. Manusia dapat menghina dan merendahkan orang-orang yang tertindas. Tetapi hanya Allah saja yang menjaga dan melindungi setiap orang yang lemah dan tertindas. Tepatnya Allah tidak pernah berpihak kepada orang-orang yang menindas sesamanya yang lemah. Sebaliknya Allah senantiasa melawan setiap orang yang menindas dan berlaku sewenang-wenang kepada mereka yang lemah. Sehingga Allah memberikan perlindungan yang aman kepada umatNya yang lemah. Itu sebabnya kata “berlindung” berasal dari bahasa Ibrani yang berarti “mencari perlindungan di dalam” atau “bersembunyi di dalam” atau “bersembunyi bersama”. Artinya: umat percaya yang tertindas akan mencari perlindungan di dalam Allah.

Saat Raja Berperan Sebagai Penindas
Kesaksian II Sam. 10:17-19 sangatlah kontras dengan II Sam. 10:1-27. Sebab di II Sam. 10:17-19 mengisahkan bagaimana kepahlawanan Daud sebagai seorang raja yang berjuang dan membela rakyatnya dengan hidupnya sendiri. Bangsa Aram yang menyerang Israel berhasil dikalahkan oleh Daud, yaitu: “Daud membunuh dari orang Aram itu tujuh ratus ekor kuda kereta dan empat puluh ribu orang pasukan berkuda. Sobakh, panglima tentara mereka, dilukainya sedemikian, hingga ia mati di sana” (II Sam. 10:18). Tetapi tidak demikian isi kesaksian II Sam. 11:1-27. Kita sama sekali tidak menjumpai kesaksian tentang kepahlawanan Daud, atau peran Daud sebagai raja yang seharusnya menjaga dan melindungi rakyatnya. Bilamana para raja setiap tahun menunjukkan perannya dengan mengerahkan kekuatan militernya untuk menjaga keselamatan rakyat, justru saat itu Daud lebih memilih untuk tinggal di istana. Saat tentara dan Yoab panglima perangnya sedang bertaruh nyawa dalam peperangan melawan bani Amon, Daud malahan bersantai-ria di istananya. Makna ungkapan II Sam. 11:1, “sedang Daud sendiri tinggal di Yerusalem” sangat dalam. Ungkapan tersebut mau menyatakan bahwa Daud lebih memilih suatu “comfort zone” untuk menikmati berbagai fasilitas istana yang mewah di tengah-tengah para prajuritnya yang sedang berjuang membela keselamatan negara.

Peran raja yang seharusnya selalu disibukkan untuk memikirkan berbagai kebijaksanaan dan kesejahteraan rakyat, justru diisi oleh Daud dengan pola kehidupan yang serba “rileks” di atas pembaringannya. Ketika Daud bangun dari pembaringannya, dia bukan segera mengerjakan tugas-tugas kenegaraan, tetapi malahan dia berjalan-jalan di atas sotoh istana untuk melihat seorang wanita yang bernama Batsyeba sedang mandi. Mungkin sebelumnya Daud telah beberapa kali melihat Batsyeba mandi. Sehingga karena alasan yang sangat “pribadi” tersebut Daud waktu itu menolak berperang bersama para prajuritnya. Karena Daud menyaksikan betapa cantiknya saat Batsyeba mandi. Lebih dari pada itu Daud menyuruh bawahannya untuk membawa Batsyeba menemui dirinya. Tentunya Batsyeba tidak mampu menolak permintaan Daud sebagai raja sampai akhirnya Batsyeba mengandung setelah disetubuhi oleh Daud. Ketika Daud mendengar Batsyeba mengandung, dia mulai panik karena suami Batsyeba yakni Uria pasti akan segera curiga. Bagaimana mungkin isteri yang telah ditinggal suami selama berbulan-bulan karena tugas negara dapat melahirkan seorang anak. Itu sebabnya Daud segera memanggil Yoab agar menyuruh Uria menghadap. Daud memikirkan suatu siasat untuk menutupi kesalahannya.

Saat Siasat Dirancang

Mungkin semula Daud tidak pernah mengenal Uria orang Het secara pribadi. Tetapi kini Daud secara khusus memanggil Uria menghadap kepadanya. Sepertinya Daud berupaya menampilkan suatu sikap yang penuh dengan kemurahan hati kepada Uria. Daud menyuruh dan memberi kesempatan kepada Uria pulang ke rumah untuk bersenang-senang dengan istrinya. . Padahal maksud Daud menyuruh Uria pulang ke rumah dan bersetubuh dengan istrinya Batsyeba sebenarnya bertujuan untuk menutupi aib berupa bayi yang telah dikandung oleh Batsyeba dari benih Daud. Kalau Uria saat itu bersetubuh dengan isterinya, bukankah masih ada alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa bayi yang dikandung oleh Batsyeba bukan berasal dari benih Daud? Selain itu Daud juga melalui suruhannya memberi hadiah (II Sam. 11:8). Mungkin maksud Daud adalah untuk menyenangkan hati Uria. Padahal hadiah tersebut diberikan Daud untuk menyembunyikan kesalahan sekaligus untuk “menebus” dosa-dosa yang telah diperbuat kepada Uria. Tetapi rekayasa Daud tidak berjalan mulus. Sebab ternyata Uria menolak untuk pulang dan bersenang-senang dengan Batsyeba. Didorong oleh perasaan nasionalisme, Uria memilih tetap berada di depan pintu istana bersama para prajurit. Jawaban Uria kepada Daud mencerminkan sikap ksatrianya: "Tabut serta orang Israel dan orang Yehuda diam dalam pondok, juga tuanku Yoab dan hamba-hamba tuanku sendiri berkemah di padang; masakan aku pulang ke rumahku untuk makan minum dan tidur dengan isteriku? Demi hidupmu dan demi nyawamu, aku takkan melakukan hal itu!" (II Sam. 11:11). Sebenarnya dari jawaban Uria tersebut sudah menjawab pertanyaan yang paling mendasar, yaitu siapakah di antara Daud dan Uria yang layak menjadi pahlawan dan siapakah yang menjadi pecundang. Uria seorang Het yang bukan umat Israel bersedia membela rakyat Israel dengan nyawanya, tetapi Daud yang adalah raja Israel dan dipilih oleh Allah malahan memerankan diri seorang penindas dan pecundang. Kesaksian II Sam. 11 sungguh mengejutkan! Sebab yang menjadi penindas bukanlah bangsa kafir tetapi justru seorang yang diurapi dan dipilih oleh Allah.

Penindasan yang dilakukan oleh Daud ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Daud mulai memperdaya Uria dengan membuat dia mabuk. Padahal kekuatan utama dari seorang prajurit adalah kesadaran dan kewaspadaannya. Sehingga saat seorang prajurit mabuk, maka dia tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Lalu keesokkan harinya Daud telah siap merencanakan suatu kejahatan yang keji terhadap Uria, yaitu dengan menyuruh Yoab panglima perangnya untuk menempatkan Uria di depan pertempuran melawan bangsa Amon. Setiap orang tahu bahwa seorang prajurit yang baru saja dibuat mabuk tidak akan mungkin mampu bertempur apalagi jika dia ditempatkan di depan barisan. Sepandai-pandainya seorang prajurit menggunakan senjatanya saat dia mabuk, maka pastilah dia akan mati jika ditempatkan dalam suatu pertempuran. Dengan demikian penindasan brutal yang dilakukan oleh Daud semata-mata bertujuan ingin merebut Batsyeba dengan cara menyingkirkan Uria selama-lamanya. Apabila Uria berhasil dilenyapkan, maka Daud merasa lebih leluasa dan tidak terhalang sedikitpun untuk menggauli Batsyeba. Daud juga merasa aman dapat menyembunyikan skandalnya. Skenario jahat dari Daud tersebut sebagian terwujud sebab akhirnya Uria dapat gugur dalam pertempuran. Tetapi sebagian skenario tersebut akhirnya terbongkar sebab Allah menyuruh nabi Natan menyampaikan rencana dan hukuman Allah.

Allah: Pembela Orang Yang Tertindas
Dengan kekuasaan Daud sebagai raja dan skenario jahatnya yang sangat lihai, rasanya waktu itu tidak mungkin ada yang mampu membongkar skandal perzinahan dan pembunuhan terhadap Uria. Walaupun Yoab selaku panglima perang sebenarnya mengetahui secara persis seluruh kejahatan dan kelicikan Daud, tetapi dia tidak mungkin berani menegur atau mengingatkan Daud. Apakah Allah juga ikut bungkam menyaksikan kejahatan Daud tersebut? Bukankah Allah sendiri yang telah memilih dan mengurapi Daud untuk menjadi raja atas umatNya? Apabila Allah saat itu ikut berdiam diri terhadap Daud, maka Dia akan menjadi “Allah yang amoral”. Sikap bungkam dengan membiarkan kejahatan tetap berlangsung berarti kita juga ikut menyetujui dan membenarkan kejahatan tersebut. Tetapi tidaklah demikian sikap Allah. Dia adalah Allah yang kudus dan adil. Allah tidak segan-segan menghukum Daud. Bentuk hukuman Allah adalah: keturunan Daud akan tertimpa oleh pedang (II Sam. 12:10), dan isteri-isteri Daud akan diambil di depan matanya untuk diberikan kepada orang lain (II Sam. 12:11-12). Para pecundang dan penjahat mungkin dapat mewujudkan impiannya yang jahat, tetapi mereka pasti akan menuai dari apa yang telah ditaburkan. Demikian pula dengan kasus Daud. Dia juga harus membayar harga yang sangat mahal, bahkan para keturunannya tidak akan luput dari pedang. Daud juga harus mengalami rasa malu dan kesedihan yang sangat besar saat isteri-isterinya direbut dan digauli dengan paksa oleh Absalom anaknya. Walaupun Daud adalah seorang yang dipilih dan diurapi oleh Allah, tetapi tidak berarti dia memperoleh kekebalan atau dispensasi atas seluruh kesalahan dan dosa-dosanya. Justru intensitas hukuman Allah kepada Daud dan keturunannya lebih besar dari pada hasil skenarionya yang licik dan kejam terhadap Uria.

Hukuman Allah terhadap Daud menunjukkan hakikat Allah adalah kudus dan adil. Dia tidak pernah membiarkan kejahatan dan ketidakadilan menguasai kehidupan manusia. Selain itu Allah yang menyatakan diri sebagaimana yang disaksikan oleh Alkitab adalah Allah yang juga selalu berpihak kepada umat yang tertindas. Sehingga nyawa orang benar seperti Uria tidak pernah diabaikan. Mzm. 14:4-5 berkata: “Tidak sadarkah semua orang yang melakukan kejahatan, yang memakan habis umat-Ku seperti memakan roti, dan yang tidak berseru kepada TUHAN? Di sanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar, sebab Allah menyertai angkatan yang benar”. Kesaksian Alkitab tersebut dalam kenyataan hidup sehari-hari justru sering dilanggar oleh orang yang menganggap dirinya beragama atau beriman. Cukup banyak kasus yang memperlihatkan bagaimana sikap orang beragama yang sering menganggap remeh nyawa orang lain khususnya sesama yang dianggap “kafir”. Seakan-akan darah “orang kafir” halal untuk ditumpahkan. Padahal hidup orang yang dianggap “kafir” juga milik Allah. Umat yang “beragama” sama sekali tidak berhak untuk mencabut atau mengambil nyawa sesamanya. Sebaliknya umat “beragama” memiliki kewajiban dan tanggungjawab moral yang mutlak untuk melindungi setiap sesama yang sedang terancam atau menghadapi bahaya maut. Umat beragama secara khusus mengemban tugas sebagai “kepanjangan tangan Allah” sehingga keadilan dan kebenaran wajib untuk terus ditegakkan. Karena itu apabila umat “beriman” bertindak yang sebaliknya yaitu berlaku tidak adil, kejam, dan sewenang-wenang mencabut nyawa orang lain maka Allah akan berubah menjadi lawan utamanya. Allah akan berpihak dan membela setiap orang tertindas walaupun mereka berstatus sebagai “orang kafir”. Dalam konteks ini tidaklah benar pernyataan yang menyatakan bahwa kebenaran itu tidak berpihak. Justru untuk membela suatu keadilan, kebenaran harus berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas. Memang benar untuk menyelidiki dan melakukan pencarian suatu kebenaran, kita harus mampu bersikap netral. Namun setelah dilakukan suatu pengujian terhadap kebenaran dan terbukti bahwa hal tersebut bernilai “benar”, maka para pembela kebenaran harus berani berpihak. Jika tidak demikian, maka kebenaran hanya akan menjadi “kebenaran” di atas kertas saja alias sekedar suatu paradigma dan konsep. Padahal hakikat kebenaran harus selalu diperjuangkan dan diwujudkan sehingga menjadi suatu kenyataan hidup. Itu sebabnya dalam menegakkan keadilanNya Allah berpihak membela posisi Uria yang tertindas dengan melawan dan menghukum Daud. Kasih dan kesetiaan Allah kepada Daud tidak pernah membungkam atau melumpuhkan keadilanNya.

Penindasan Dan Atheisme-Aksi
Koreksi atau introspeksi diri bukan hanya tertuju bagi umat yang tidak beragama (“atheisme-kepercayaan”). Tetapi koreksi atau introspeksi diri yang kritis juga dialamatkan kepada setiap umat yang beragama (theisme). Memang atheisme secara umum berarti suatu ketidakpercayaan bahwa Tuhan itu ada. Arti dari atheisme bukan sekelompok orang yang percaya bahwa Tuhan tidak ada, melainkan secara prinsip mereka menolak dan tidak percaya bahwa Tuhan ada. Dengan kata lain, makna ateisme sebenarnya bukan merupakan kepercayaan atau keyakinan, melainkan sistem ketidakpercayaan atau ketidakyakinan kepada eksistensi Allah. Mzm. 14:1 mengungkapkan sikap hati orang-orang atheistis, yaitu: "Tidak ada Allah. Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik”. Manakala kita mencermati makna Mzm. 14:1 tersebut, maka pengertian “atheisme” sebenarnya bukan hanya terbatas kepada sikap ketidakpercayaan akan Allah, tetapi juga menyatakan bagaimana bentuk dari “atheisme aksi”. Yang mana sikap atheisme-aksi justru sangat berbahaya dan merusak nilai-nilai kehidupan sebagaimana diungkapkan oleh Mzm. 14:1, yaitu: “Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik”. Bahkan Mzm. 14:3 lebih tegas lagi, yaitu: “Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak”. Bentuk atheisme-aksi secara sengaja mempratekkan setiap hal yang tidak dikehendaki oleh Allah. Padahal melanggar setiap firman Allah secara sistematis dan bersengaja berarti kita secara prinsipiil telah meniadakan realitas kasih, keadilan dan kebenaran. Dengan demikian sikap atheisme-aksi pada hakikatnya mengejawantahkan nilai-nilai dan pemahaman “atheisme kepercayaan” dengan bentuk penistaan dan peniadaan terhadap harkat atau martabat manusia. Tepatnya sikap operatif dari “atheisme-aksi” adalah: upaya secara bersengaja untuk menindas, menista dan melenyapkan nyawa sesamanya. Contohnya adalah tindakan Daud yang pada satu pihak beriman kepada Allah, dan pada pihak lain dia secara sistematis melenyapkan nyawa Uria.

Dengan demikian selama umat percaya dalam kehidupan sehari-hari masih memberlakukan sikap “atheisme-aksi”, sebenarnya kehidupan mereka belum dapat dikategorikan sebagai bagian dari “komunitas umat percaya”. Karena dalam komunitas umat percaya senantiasa mampu mewujudkan spiritualitas yang terintegrasi (integrated of spirituality) antara keyakinan iman dengan tindakan. Hidup umat percaya ditandai oleh integritas yang teruji, sehingga mereka tidak pernah mereka-reka dan melaksanakan suatu tindakan yang bertentangan dengan firman Allah. Itu sebabnya umat percaya senantiasa mampu memposisikan diri sebagai alat di tangan Allah untuk menegakkan kasih dan keadilanNya. Umat percaya tidak pernah bersedia memposisikan dirinya sebagai penindas terhadap sesama. Sebaliknya umat percaya selalu memerankan diri sebagai pelindung, pembela dan penghibur kepada sesama yang sedang tertindas. Karena mereka tahu bahwa dalam diri setiap umat yang sedang tertindas, Allah sungguh-sungguh hadir. Makna kehadiran Allah bukan hanya terjadi di tengah-tengah ritus/ibadah umatNya, tetapi Dia juga hadir dalam kehidupan setiap orang yang menderita dan tertindas. Mzm. 14:5 berkata: “Di sanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar, sebab Allah menyertai angkatan yang benar”. Allah akan memberi hukuman dan kekejutan bagi setiap penindas dan orang lalim, tetapi Dia akan menyertai angkatan umat yang hidup benar. Jika demikian, tolok ukur yang benar untuk menentukan tingkat/mutu iman setiap umat percaya adalah sejauh mana umat percaya telah memposisikan dan memerankan diri dalam relasinya dengan sesama. Apakah umat percaya dalam kehidupan sehari-hari telah memposisikan diri sebagai seorang penindas, ataukah mereka menjadi pelindung dan pembela bagi setiap orang yang tertindas. Bagi umat percaya yang konsisten untuk menjadi pelindung dan pembela bagi sesamanya yang tertindas, maka doa rasul Paulus di Ef. 3:16-17 dapat dijadikan acuan dan landasan sikap. Karena di Ef. 3:16-17 rasul Paulus berdoa demikian: “Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih”.

Dimensi Penindasan Dan Kasih
Tindakan penindasan pada hakikatnya seluas aspek kehidupan manusia. Artinya setiap aspek kehidupan manusia senantiasa terbuka untuk ditindas, dirusak dan dihancurkan. Karena itu penindasan selalu mencakup dimensi politis, ekonomis, ideologis, filosofi, religiusitas, sosial, budaya, keluarga dan inter-relasi dengan sesama. Praktek penindasan tidak hanya pemberlakuan secara vulgar sebagaimana yang telah dilakukan oleh Daud kepada Uria. Tetapi pola-pola penindasan juga dapat dinyatakan dalam bentuk yang tidak selalu tampak secara lahiriah, misalnya sikap menindas anggota keluarga dan sesama dengan perkataan kasar. Kita juga dapat menindas orang lain dengan “sopan-santun” atau tata-krama feodalisme. Kita juga dapat menindas dengan cara menghina, meremehkan dan memfitnah orang lain sehingga dia tidak dapat bertahan hidup. Dengan perkataan lain ketika kita secara sengaja melumpuhkan dan mematikan daya hidup, karunia dan kreativitas orang lain apapun bentuknya maka sebenarnya kita telah menindas sesama dan mempraktekkan atheisme-aksi. Sebaliknya dalam tindakan yang dilandasi oleh kasih Kristus, setiap umat percaya akan selalu berupaya untuk memberdayakan dan meneguhkan sesama agar orang lain mampu untuk mengembangkan seluruh kemampuannya. Kasih Kristus selalu membangun, sebaliknya atheisme-kepercayaan dan atheisme-aksi selalu bersifat merusak dan melumpuhkan sesama.

Panggilan
Kasih Kristus yang dianugerahkan Allah dalam kehidupan kita merupakan tempat perlindungan yang paling aman. Kehidupan kita yang semula ditindas dan dibelenggu oleh kuasa dosa, kini dibebaskan dan diselamatkan oleh Allah dalam penebusan Kristus. Sehingga di dalam kuasa kasih Kristus, kita dimampukan oleh Allah untuk melakukan banyak hal yang mulia dan konstruktif melampaui seluruh harapan dan pemikiran kita. Di Ef. 3:20 rasul Paulus berkata: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita”. Jika demikian, kasih Kristus menjadi landasan utama dari setiap karunia dan panggilan hidup kita untuk menjadi pembela dan pelindung setiap orang yang tertindas. Bagaimanakah sikap hidup saudara? Apakah kehidupan saudara menjadi pembebas dan penyelamat yang melindungi setiap orang yang lemah; ataukah menjadi penindas yang melumpuhkan dan mematikan sesama? Amin.

Artikel

MENGERJAKAN PEKERJAAN YANG DIKEHENDAKI ALLAH
Kel. 16:2-4, 6-15; Mzm. 78:23-29; Ef. 4:1-16; Yoh. 6:24-35

Pengantar
Fenomena kebangkitan agama-agama merupakan salah satu indikator bahwa umat manusia pada masa kini semakin membutuhkan kehadiran Allah. Mereka disadarkan agar semakin mampu memiliki kehidupan yang berorientasi kepada kehendak Allah. Namun apakah kesadaran keagamaan yang berkobar-kobar tersebut telah membuktikan bahwa mereka telah mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah? Fenomena kebangkitan agama memang menunjukkan bahwa sebagian besar umat manusia telah siuman atau sadar akan kebutuhan agama dan kehadiran Allah. Tetapi sikap siuman tersebut dalam praktek hidup ternyata hanya terbatas pada kesadaran yang sifatnya lahiriah. Kebangkitan agama hanya mendorong banyak orang untuk menjadi fanatik terhadap imannya dengan menistakan sesama yang berbeda keyakinan dan agama. Misalnya bagi umat Kristen, ayat-ayat Alkitab tidak dihayati secara utuh tetapi sekedar dikutip berupa potongan atau cuplikan kecil untuk mendukung pemikiran dan ideologi mereka. Kemudian dengan potongan ayat tersebut mereka berupaya membangun “teologi” atau kebenaran Allah. Hasilnya dapat diperkirakan! Bangunan “teologi” atau kebenaran Allah tersebut sangatlah dangkal dan jauh dari maksud firman Tuhan yang sesungguhnya. Karena itu lebih tepat fenomena kebangkitan agama-agama disebut sebagai kebangkitan fundamentalisme agama. Kebangkitan agama sama sekali bukan kebangkitan iman yang membebaskan, tetapi sekedar suatu peristiwa kebangkitan fanatisme yang destruktif.

Karena kebangkitan agama bukan kebangkitan iman yang membebaskan, maka fenomena kebangkitan agama lebih sering didominasi oleh simbol-simbol keagamaan. Sehingga makna keagamaan hanya ditandai oleh kehadiran ritualisme dan simbol yang menunjukkan identitas lahiriah agama. Iman bergeser maknanya menjadi dogmatisme. Teologi bergeser menjadi ideologi. Padahal makna iman yang bergeser dalam pengertian dogmatisme tidak memungkinkan manusia untuk mencari kebenaran, tetapi justru sebaliknya semakin memenjarakan kebenaran. Dalam pemahaman ini makna iman dijauhkan dari berbagai kemungkinan pertanyaan kritis, sebab mereka memahami bahwa “di mana ada iman, tidak perlu lagi ada pertanyaan”. Apabila sikap beriman semakin menjauhkan manusia dari pertanyaan kritis, maka tidak tersedia lagi ruang bagi manusia untuk menghayati iman sebagai pergumulan mencari kebenaran yang lebih tinggi. Makna kebenaran sekedar suatu doktrin atau dogma yang sudah final. Padahal saat kebenaran terpenjara dalam doktrin atau dogma, kebenaran tersebut telah kehilangan fungsinya yang paling utama yaitu membebaskan dan memberdayakan manusia. Kebenaran yang demikian justru hanya mendorong manusia untuk menerapkan kekakuan beribadah dan kedangkalan kasih. Tidaklah mengherankan jikalau kebangkitan agama justru jauh dari kebangkitan nilai-nilai etis. Sebab dalam kebangkitan agama, manusia justru semakin mempraktekkan kekerasan dan kecongkakan rohani serta kultus individu terhadap para pemimpin mereka. Dari sudut lahiriah, mereka seakan-akan mempermuliakan dan menyembah nama Allah, padahal sesungguhnya mereka sedang mempermuliakan diri sendiri atau kebenaran-kebenaran manusiawi. Padahal tugas mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki oleh Allah tidak terlepas dari tindakan sikap etis-iman. Dengan perkataan lain seharusnya makna kebangkitan agama menjadi fenomena kebangkitan etika yang imaniah dalam kehidupan umat manusia. Kebangkitan etika berarti setiap umat manusia disadarkan untuk memberlakukan nilai-nilai firman Tuhan secara konsisten.

Mencari Yesus Ataukah RotiNya?
Kehadiran Tuhan Yesus senantiasa ditandai oleh kerumunan orang banyak. Ke mana Tuhan Yesus pergi, di situ pula orang banyak selalu berkumpul. Manakala orang banyak tidak menemukan Tuhan Yesus di suatu tempat, maka mereka segera mencari sampai menemukan Dia. Betapa luar-biasa daya tarik Tuhan Yesus. Kharisma dan kuasaNya seperti kekuatan magnet yang mampu menyedot orang banyak untuk meninggalkan rumah dan pekerjaan agar mereka dapat menjumpaiNya. Namun saat mereka berhasil menjumpai Tuhan Yesus, ternyata sikap antusiasme orang banyak tersebut disambut Dia dengan sikap dingin, yaitu: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang” (Yoh. 6:26). Betapa sering massa penganut agama pada masa kini juga begitu antusias mencari “Tuhan”. Mereka bersedia menjual harta-benda agar dapat pergi ke “rumah Allah”. Itu sebabnya pada masa kini para penganut agama berusaha untuk mengunjungi kota-kota yang dianggap suci seperti: Mekkah, Benares dan sungai Gangga, Yerusalem atau tempat-tempat yang dikisahkan dalam Kitab Suci. Kalau perlu mereka bersedia menjual sawah atau kebunnya agar dapat berziarah di tempat-tempat yang dianggap suci tersebut. Mungkin bagi beberapa orang, antusiasme ritual/ziarah keagamaan tersebut dapat memperdalam dan mencelikkan mata rohani mereka terhadap kebenaran ilahi. Tetapi bagi sebagian besar lainnya antusiasme ritual/ziarah justru semakin memperkuat fanantisme keagamaan yang dangkal dan sempit. Sebab motivasi mereka yang sesungguhnya adalah untuk memperoleh berkat dan bukan berjumpa dengan Allah yang membebaskan dan membaharui hidup mereka. Demikian pula dengan kecenderungan sebagian umat Kristen yang datang ke tanah suci Israel. Mereka ingin dibaptis ulang di sungai Yordan. Motif baptisan ulang tersebut bukan karena dorongan pertobatan dan komitmen untuk mengalami pembaharuan hidup yang telah dikerjakan oleh Kristus, tetapi sekedar ingin memperoleh “berkat rohani” tambahan. Baptisan dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus yang pernah mereka terima dianggap belum benar-benar “alkitabiah” dan memadai. Keadaan ini menunjukkan bahwa begitu banyak orang yang lebih rindu memperoleh berkat-berkat ilahi tambahan dari pada mengenal dan mengasihi diri Allah secara personal.

Kisah orang banyak yang berbondong-bondong mencari Tuhan Yesus sepertinya begitu mengharukan hati. Walau mereka harus bersusah-payah menyeberang danau, mereka bersedia melakukannya. Tetapi motif hati mereka yang sebenarnya adalah agar mereka dapat memperoleh roti seperti yang pernah digandakan oleh Tuhan Yesus. Orang banyak datang kepada Tuhan Yesus bukan bertujuan untuk mengenal pribadi dan kasihNya, tetapi agar Tuhan Yesus memberikan makanan yang berlimpah. Sikap orang banyak tersebut juga menggambarkan kehausan manusia modern yang dari luar sepertinya sibuk dan bergairah mencari “Allah”. Padahal motif hati yang sesungguhnya adalah mencari berkat kekayaan dan kemakmuran. Sebab paradigma utama dari para “pencari Allah” ini adalah kemakmuran sebagai tanda dari umat yang diberkati oleh Allah. Semakin makmur, semakin menunjukkan mereka adalah umat yang terpilih dan terberkati. Tetapi sayangnya tidak dijelaskan latar-belakang dan asal kemakmuran yang telah mereka perolah. Apakah kemakmuran tersebut mereka peroleh dari hasil kerja keras yang didasari oleh prinsip-prinsip etis-iman, ataukah kemakmuran tersebut hasil dari manipulasi dan pola kerja yang tidak jujur. Suatu kemakmuran yang berasal dari usaha dan kerja keras yang didasari oleh prinsip-prinsip etis-iman tentu kita hayati sebagai wujud dari berkat Allah. Tetapi sebaliknya suatu kemakmuran yang berasal dari “eksploitasi cerdik” atau “manipulasi pintar” bukan berasal dari Allah walau para pelakunya sangat khidmat saat beribadah di BaitNya. Jadi kehausan atau antusiasme rohaniah bukanlah indikator valid dari orang-orang yang mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah. Justru sebaliknya mereka sering memerankan diri sebagai orang-orang yang munafik di mana di satu sisi tampil begitu rohani di lingkungan gereja, dan pada sisi lain dalam kehidupan sehari-hari justru menjadi monster dan pemangsa bagi sesamanya. Penampilan seseorang yang berwatak monster dan pemangsa sesama dengan pakaian dan wajah malaikat tentu lebih berbahaya dari pada eksistensi dari monster dalam arti sebenarnya. Kita akan lebih mudah menghadapi mahluk monster yang sebenarnya, karena kita segera mengetahui jati-dirinya sehingga kita tidak akan lengah dengan serangannya. Tetapi sangat sulit dan membingungkan manakala kita harus menghadapi seseorang yang berwatak monster dan pemangsa sesama dengan wajah malaikat. Sebab kita dituntut untuk selalu jeli, kritis dan mungkin harus melakukan “survey” dalam kurun waktu yang cukup panjang untuk mengumpulkan bukti-bukti yang memadai tentang kejahatan mereka. Padahal di tengah-tengah proses waktu yang panjang itu sebenarnya telah jatuh korban yang begitu banyak.

Bekerjalah Untuk Hidup Yang Kekal
Makna mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah tidak sebatas melakukan berbagai pekerjaan yang dianggap “rohani”. Paradigma ini sering menyesatkan seakan-akan pekerjaan yang dikehendaki Allah jikalau kita bersedia meninggalkan profesi atau pekerjaan sekuler dengan menggantinya menjadi profesi seorang “hamba Tuhan”. Dalam iman Kristen, setiap pekerjaan adalah kudus sejauh pekerjaan tersebut dilakukan untuk mempermuliakan Allah yaitu dengan mengabdikan untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Karena itu pekerjaan rohani seperti menjadi seorang pendeta atau penginjil sebenarnya tidak lebih tinggi dari pada tugas seorang penyapu jalan, ibu rumah-tangga, montir, pengasuh bayi, ahli medis, ahli hukum, tukan kebun, petani, tukang jahit, dan sebagainya. Asalkan semua pekerjaan tersebut dilakukan dengan cinta yang besar sehingga menghasilkan sikap pengabdian yang bermanfaat bagi sesama dan keluarga. Apalagi jika cinta yang besar itu lahir dari iman yang tulus kepada Tuhan Yesus selaku Juru-selamatnya. Pastilah cinta yang besar itu akan semakin dimurnikan dan dikuduskan sebab dilandasi oleh iman kepada Kristus. Di Yoh. 6:27, Tuhan Yesus berkata: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya". Jadi sebenarnya tidaklah cukup bagi umat manusia hanya mendasari seluruh tindakan atau pengabdiannya dengan cinta yang besar. Sebab cinta atau kasih dalam kehidupan sehari-hari dapat berubah atau menyimpang menjadi cinta-diri. Kasih juga perlu diarahkan dan dikendalikan oleh kuasa iman. Dan pada pihak lain iman yang benar bukan sekedar orientasi religius kepada Allah yang abstrak, tetapi kepada wujud penyataan Allah yang telah terjadi dalam diri Yesus Kristus. Itu sebabnya Tuhan Yesus menegaskan bahwa Dialah yang disahkan oleh Allah dengan meteraiNya. Sehingga melalui iman kepada Kristus, manusia akan memperoleh hidup yang kekal.

Karena itu iman kepada Kristus hanya bermakna jikalau ditandai oleh sikap integritas diri. Pengakuan iman yang menyatakan Yesus adalah Tuhan hanya mungkin terjadi jika kita bersedia mewujudkan ke-Tuhan-anNya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sehingga setiap pekerjaan, usaha atau karier kita secara hakiki di bawah kuasa pemerintahanNya. Dengan pola spiritualitas iman yang demikian tidak dimungkinkan terbuka celah sedikitpun untuk mengeksploitasi atau membuat manipulasi licik yang merugikan sesama. Pengakuan akan ke-Tuhan-an Yesus juga harus diwujudkan dalam pengakuan akan ke-”manusia”-an sesama yaitu kepada harkat dan martabatnya selaku gambar dan rupa Allah. Sehingga persembahan syukur yang dipersembahkan umat percaya kepada Allah pada hakikatnya tidak dimaksudkan untuk meniadakan sikap kepedulian kasih mereka kepada sesama yang berkekurangan dan menderita. Saat umat Israel menderita kekurangan makanan di padang gurun, Allah sangat peduli dengan mengirimkan roti berupa manna sehingga mereka mampu bertahan hidup selama 40 tahun lamanya. Demikian pula halnya dengan panggilan umat percaya. Setiap umat percaya dipanggil untuk senantiasa memberdayakan sesamanya agar mereka juga dapat bertahan sampai kepada hidup yang kekal. Keselamatan dan hidup kekal tidak boleh dikuasai dan dimonopoli oleh umat percaya, tetapi harus selalu dikomunikasikan dan dibagikan; sehingga semakin banyak sesama yang juga dapat menikmati roti hidup, yaitu manna sorgawi yang telah disediakan oleh Kristus. Sebab keselamatan dan hidup yang kekal hanya disediakan oleh Allah di dalam Kristus. Tuhan Yesus berkata: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6:35). Dalam konteks ini Tuhan Yesus tidak menyebut Dia sekedar pengajar tentang roti hidup, tetapi Dia menyebut diriNya sebagai Roti Hidup. Sehingga setiap orang yang telah datang kepada Kristus tidak akan lapar lagi oleh perkara-perkara duniawi. Setiap orang yang datang kepada Kristus juga tidak akan haus lagi oleh keinginan-keinginan daging. Sebab mereka telah dikenyangkan oleh kebenaran Kristus yang membebaskan. Jadi jika setiap umat percaya telah memperoleh kebenaran yang membebaskan, maka mereka akan melakukan setiap tugas dan panggilannya dengan integritas diri yang tulus. Dengan ungkapan yang senada, rasul Paulus berkata: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef. 4:1-3).

Membaharui Dan Memperlengkapi Komunitas
Karya keselamatan dan pembaharuan Allah selalu melampaui batas-batas individual dan kelompok. Sebab karya keselamatan dan pembaharuan Allah mencakup seluruh dimensi kehidupan umat manusia. Melalui karya Kristus, Allah berkenan menjangkau dan menyelamatkan seluruh umat manusia. Karena itu makna mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki oleh Allah selalu berkaitan dengan upaya untuk membaharui dan memperlengkapi komunitas yang didiami oleh setiap umat. Di Ef. 4:3 dengan tegas rasul Paulus menyatakan pentingnya umat percaya memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera. Yang mana ikatan damai-sejahtera tidak mungkin hanya dibangun oleh segelintir orang. Ikatan damai-sejahtera merupakan suatu rangkaian sistem dan rantai kehidupan yang saling terkait. Karena itu makna mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah tidak pernah terlepas dari upaya pembaharuan terhadap sistem dan nilai-nilai yang dihayati oleh setiap komunitas kehidupan manusia. Dalam hal ini umat percaya tidak boleh terbelenggu oleh tindakan kasih yang sifatnya karitatif dan personal belaka. Sebab kita sering merasa puas dengan melakukan bentuk-bentuk pelayanan yang sekedar membagi makanan dan pakaian bekas dari pada mengerjakan pembaharuan sistem. Padahal bentuk-bentuk pelayanan yang sifatnya karitatif dan personal belaka dalam jangka panjang tidak akan mampu memperbaiki suatu keadaan. Misalnya kemiskinan tidak cukup diatasi hanya membagi bahan-bahan kebutuhan primer (“sembako”). Sebab pembagian bahan-bahan makanan tersebut hanya mampu bertahan antara 1-2 hari saja, tetapi setelah itu mereka tetap berada dalam belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan. Pada satu sisi pemberian bahan-bahan pokok tersebut mungkin dapat menolong sesama. Tetapi pada sisi lain pemberian bahan-bahan pokok secara intensif justru sering menciptakan situasi ketergantungan sehingga semakin memupuk perasaan tidak berdaya dan kemalasan untuk bekerja. Jadi makna mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah berkaitan dengan peningkatan harkat dan martabat manusia. Untuk itu kita dipanggil untuk menciptakan damai-sejahtera yang memberdayakan. Sebab damai-sejahtera Kristus bukanlah damai-sejahtera yang semu, tetapi damai-sejahtera yang membangun dan membebaskan. Sehingga dengan damai-sejahtera Kristus tersebut setiap orang dimampukan untuk menikmati kehidupan yang setara, adil dan saling menopang dalam kuasa kasihNya.

Namun pada sisi yang lain, dimensi damai-sejahtera Kristus yang setara dan adil pada hakikatnya tetap menghargai keunikan dan kekhasan setiap kasih-karunia Allah bagi setiap individu. Dalam hal ini makna damai-sejahtera Kristus tidak identik dengan penyeragaman konsep, penyamaan pemikiran atau keyakinan. Juga makna damai-sejahtera Kristus bukan penyamaan teologi atau doktrin. Makna damai-sejahtera Kristus lebih terarah kepada upaya penyamaan kesetaraan umat manusia yang tunduk dalam kuasa kasihNya. Di Ef. 4:7 rasul Paulus berkata: “Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus”. Setiap orang telah dianugerahi oleh Allah dengan kesetaraan dalam kedudukan, gender, etnis, ideologi dan agama. Sehingga setiap orang juga memiliki kasih-karunia yang berbeda-beda sesuai dengan ukuran pemberian Kristus. Dengan penghayatan spiritualitas yang demikian, kita tidak perlu bersikap iri-hati dengan kasih-karunia yang dimiliki oleh orang lain. Kita juga tidak perlu memaksakan diri untuk memperoleh sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Sebaliknya kita dipanggil untuk semakin menghargai dan memberdayakan kasih-karunia yang sudah dilimpahkan Allah kepada kita, sehingga kita dapat menyumbangkan secara optimal kepada sesama yang membutuhkan. Apabila setiap orang selalu mengoptimalkan setiap kasih-karunia Allah dan kemudian masing-masing menyumbangkan secara tulus untuk kepentingan yang lebih luas, maka hasilnya pasti sangat luar-biasa. Komunitas tersebut akan menjadi persekutuan yang sinergis dan transformatif bagi orang-orang sekitarnya. Dalam pemahaman inilah gereja Tuhan dipanggil oleh Kristus untuk menjadi garam dan terang dunia.

Bertumbuh Di Dalam Kristus Yang Adalah Kepala
Panggilan untuk melaksanakan pembangunan jemaat selalu terkait dengan pembangunan masyarakat. Pemberdayaan jemaat tidak pernah dimaksudkan untuk kepentingan anggota jemaat tersebut, tetapi diarahkan untuk mewujudkan pembangunan masyarakat. Selaku gereja, kita akan disebut gagal oleh Kristus jikalau kita hanya berhasil membangun kehidupan anggota jemaat, tetapi tidak pernah menghasilkan karya pelayanan yang transformatif bagi masyarakat. Gereja hanya berfungsi sebagai gereja jikalau membawa efek pembaharuan bagi masyarakat sekitarnya. Karena itu program-program gereja dimaksudkan untuk memperlengkapi para anggota jemaat sehingga mereka mampu melaksanakan tugas pembangunan masyarakat secara efektif. Sehingga dalam kehidupan masyarakat juga tercipta pembangunan tubuh Kristus, yaitu nilai-nilai etis yang sesuai dengan karakter Kristus. Di Ef. 4:11-12, rasul Paulus berkata: “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus”. Dengan demikian tugas untuk memperlengkapi umat percaya bagi pembangunan tubuh Kristus tidak lagi terbatas pada lingkup “dinding” gedung gereja, tetapi juga terintegrasi dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Sehingga setiap anggota masyarakat dalam setiap segi kehidupannya tunduk kepada kuasa Kristus. Sebab segala kuasa di sorga dan di bumi telah diserahkan Allah kepada Kristus. Tuhan Yesus berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (Mat. 28:18).

Dengan demikian mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah dalam pembangunan jemaat dan pembangunan masyarakat harus terarah kepada pengakuan akan Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat. Menggunakan istilah dan pemikiran dari Pierre Teilhard de Chardin (1 Mei 1881 – 10 April 1955) seorang filsuf Perancis dari Ordo Jesuit, menyatakan bahwa pada hakikatnya setiap mahluk dan manusia akan terarah kepada Kristus yang adalah Titik Omega. Sebab Kristus selaku Titik Omega yang mengendalikan seluruh proses penciptaan dan kehidupan ke arah Dia. Di Ef. 4:15 rasul Paulus berkata: “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala”. Jadi tujuan pembangunan jemaat dan pembangunan masyarakat tidak boleh hanya terarah kepada dirinya sendiri, tetapi harus senantiasa terarah kepada Kristus. Justru dalam pemahaman teologis inilah kita sering gagal. Sebab kita sering berjuang secara eksklusif hanya untuk kepentingan jemaat saja, atau berjuang “mati-matian” untuk kepentingan masyarakat belaka. Tetapi arah perjuangan dan kerja kita tersebut sering terlepas dari sikap ketertundukan kepada Kristus sebagai Kepala seluruh kehidupan umat manusia. Akibatnya para aktivis gereja sering disebut “kelompok gerejawi”, dan aktivis masyarakat disebut sebagai “kelompok humanis”. Seakan-akan realitas kehidupan manusia dibagi dalam 2 kelompok peduli, yaitu kelompok gerejawi yang hanya mengerjakan pelayanan yang berbau rohani, dan kelompok humanis yang hanya mau peduli dengan program-program humanis yang sekuler. Penyebutan yang bernada “miring” itu terjadi karena kita telah melepaskan semua sendi dan aspek kehidupan di gereja dan masyarakat dari Kristus yang adalah Kepala umat manusia. Bukankah kedudukan Kristus sebagai Kepala bukan hanya dalam persekutuan jemaat/gereja, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Kita telah bersalah besar sebab sering telah membatasi kuasa dan otoritas Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat hanya dalam lingkup kehidupan jemaat, tetapi tidak pernah membuka dan mengkomunikasikan kepada masyarakat luas.

Panggilan
Tugas mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah bukan untuk mengejar berkat-berkatNya, tetapi mempermuliakan Kristus dalam setiap aspek kehidupan. Karena itu betapa pentingnya sikap mengkritisi diri sendiri agar kita selalu memiliki motif yang benar dan tulus. Sikap mengkritisi diri juga akan memampukan kita untuk terus mengalami proses pembaharuan hidup. Pada pihak lain sikap mengkritisi diri akan memampukan kita untuk melihat secara tajam dan jeli berbagai fenomena yang sedang terjadi, apakah fenomena tersebut bertujuan untuk mempermuliakan Allah ataukah mempermuliakan manusia dan kelompoknya. Selaku umat yang ditebus oleh Kristus, kita dipanggil untuk semakin terlibat dalam proses pembaharuan hidup yang utuh di dalam kehidupan jemaat dan kehidupan masyarakat. Sehingga pada akhirnya setiap mahluk dan insan manusia dengan tulus mengakui ke-Tuhan-an Kristus. Karena melalui Kristuslah, Allah telah mengerjakan pekerjaan keselamatan yang sempurna agar seluruh umat manusia mengalami kepenuhan sebagai anak-anak Allah. Jika demikian, apakah saudara telah mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah? Untuk itu kita semua dipanggil untuk berjuang membaharui sistem kehidupan yang jauh dari kasih Kristus. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono